Partner in Life

Malam ini aku termenung, diselimuti hembusan angin yang begitu menusuk. Di hadapanku terbentang sebuah danau kecil yang dihiasi dengan pantulan bulan purnama yang indah di atasnya. Namun keindahan itu terasa hambar, tubuhku menggigil padahal secangkir kopi panas sudah menemani. Seakan ada celah yang masih belum terisi. Lalu bayangan seseorang melintas di benakku, bayangan yang menimbulkan goresan senyum di wajahku. Namun senyuman itu kemudian memudar mengingat keberadaan bayangan itu sangat jauh hingga tak sanggup untuk dijangkau oleh mata ini. Dimanakah dia?
Pagi itu, aku berjalan di antara gedung-gedung pencakar langit, di bawah sinar matahari yang terik sekali hingga memanggang wajahku. Tidak biasanya Jakarta sepanas ini di pagi hari. Kupercepat langkahku menuju tempat tujuanku, menerjang kepulan asap dan deru suara kendaraan yang meramaikan jalanan Jakarta. Hari itu adalah hari pertamaku magang di redaksi sebuah majalah remaja di Indonesia.
Akhirnya angka penunjuk lantai di lift menunjukkan angka 24 yang menandakan bahwa aku harus segera keluar dari lift. Pintu lift pun terbuka dan aku langsung melesat keluar dan menyelip di antara kerumunan peserta magang yang sedang bersiap-siap memasuki kantor redaksi. Kami pun dibawa untuk mengenal tiap sudut kantor dan tak lupa kami juga diperkenalkan dengan staf-staf disana. Setelah berkeliling, kami langsung ditempatkan di desk kami masing-masing dan langsung bekerja karena deadline sudah menunggu.
Baru saja aku mendaratkan tubuhku di kursi dan hendak melakukan research ulang untuk berita yang akan aku liput, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dan berkata, “Permisi, mbak”
Kuputar bangku kerjaku dan di hadapanku berdiri seorang lelaki dengan balutan t-shirt hitam dan kemeja kotak-kotak merah serta sebuah kamera DSLR yang terkalung di lehernya. Fotografer rupanya.
“Mbak yang namanya Mayra Vanessa bukan?” tanyanya padaku.
“Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?”
“Sebaiknya mbak bersiap-siap karena kita harus segera liputan. Oh ya, nama saya Gintara Purnama. Saya akan menjadi partner mbak selama masa magang,” jelasnya sambil mengulurkan tangannya padaku. Ekspresinya begitu datar, tak ada senyuman yang terbentang di wajahnya. Meski begitu, kedua matanya yang jernih sekaligus tajam bagai busur panah memancarkan senyuman padaku. Mendadak jantungku berdegup cepat.
“Bisa beri saya waktu sebentar? Saya masih research ulang dulu,” kataku sambil meredakan rasa gugup yang datang tak diundang.
“Oke, tapi cepat ya mbak”
Setelah melakukan liputan pertama, pria yang akrab disapa Ginta itu mengajakku bersantai sejenak di café langganannya sebelum kembali bertempur di lapangan. Aku tak menyangka dibalik wajahnya yang datar itu, dia cukup senang bercerita. Dia bercerita sedikit tentang pengalaman pribadinya. Dulunya, ia adalah seorang reporter, tetapi beralih menjadi fotografer karena menurutnya fotografi jauh lebih menantang.
Tibalah giliranku untuk bercerita, namun rasa gugup datang kembali karena Ginta memandangku tepat di kedua mataku, seakan membaca kegugupan yang kurasa. “Kenapa diam saja? Kamu gugup ya?” tanyanya.
“Sedikit sih. Namanya juga baru pertama ketemu orang pasti gugup lah,” jawabku dengan jujur. Aku memang tidak pandai dalam menyembunyikan perasaanku. “Kayaknya gugup banget ya sampe mukanya merah gitu?” ujarnya sambil menyunggingkan senyum dan aku pun jadi semakin malu di hadapannya. Ah, menyebalkan sekali.
Malamnya, ketika aku berjalan menuju halte busway seusai kerja, ada seseorang yang berusaha menjambret tasku. Tetapi kemudian seorang lelaki datang menolongku disaat yang tepat. “Lu nggak apa-apa kan, May?” tanya lelaki itu padaku.
“Loh? Ginta? Belum pulang?” aku malah bertanya balik dan tidak menjawab pertanyaannya, kaget melihat sosok yang menolongku.
“Rumah kamu dimana? Sini aku anterin pulang sekalian ngambil motor di bengkel,” katanya sambil meraih tanganku lalu menariknya, mengikuti kemana langkah kakinya pergi.
“Ngga usah aku bisa pulang sendiri kok” kataku sambil berusaha untuk melepaskan genggamannya namun genggamannya terlalu kuat. Dan disaat yang sama, ku merasa aman dan nyaman dalam genggaman hangatnya.
Hari pertamaku magang, menjadi hari yang tak akan pernah kulupakan. Akhirnya aku bisa merasakan atmosfir dunia kerja yang begitu menantang. Namun tak hanya itu, aku juga dipertemukan dengan seorang lelaki yang membuatku kembali berharap. Berharap ialah sosok yang tepat untuk ku ajak meraih mimpi bersama, di masa depan.

Mungkinkah kita
Ada kesempatan
Ucapkan janji
Takkan berpisah selamanya

(Berdua Saja – Payung Teduh)

Comments