Menembus Gudang Pengetahuan yang "Terisolasi"

Walaupun zaman berubah, di mana semuanya serba digital dan mengedepankan teknologi mutakhir, keberadaannya masih dicari terutama bagi kalangan mahasiswa. Tempat ini menyimpan berbagai macam sumber pengetahuan yang membantu mahasiswa menyelesaikan tugas kuliahnya yang sudah menumpuk, atau membantu penulisan skripsi bagi mahasiswa yang sudah memasuki semester tua. Bahkan ketika bulan Ramadhan pun, gudang pengetahuan ini tetap mendapatkan hati para mahasiswa pencari ilmu.
Bagi yang berpuasa, bulan Ramadhan membuat kita menjadi malas untuk beraktivitas, apalagi kalau sedang libur, semakin malas saja untuk beranjak ke luar rumah. Tubuh terasa lemas karena harus menahan lapar dan dahaga selama kurang lebih 13 jam. Mengunjungi tempat yang belum pernah didatangi bisa menjadi pilihan untuk mengisi waktu di bulan Ramadhan dibanding bermalas-malasan. Seperti yang saya lakukan dengan mengunjungi Perpustakaan Nasional RI yang berada di Jalan Salemba Raya 28A, Jakarta Pusat pada Kamis (9/6/2016). Perpustakaan Nasional RI juga punya lokasi lain di Jalan Medan Merdeka Selatan 11, namun kami hanya mendatangi yang di Salemba saja.
Bersama seorang Gadis (19), saya berangkat menuju Perpustakaan Nasional RI menggunakan KRL Commuter Line dari Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan. Lalu berhenti di Stasiun Tanah Abang dan berpindah ke peron 2 untuk naik kereta ke arah Kampung Bandan sampai Jatinegara. Setelah itu turun di Stasiun Kramat, stasiun yang paling dekat dengan Perpustakaan Nasional RI. Dari sana, kita bisa berjalan kaki selama kurang lebih 15-20 menit atau bisa naik bajaj ataupun ojek. Namun, karena sedang berpuasa, kami memutuskan untuk naik bajaj dengan tarif Rp 20.000. Perjalanan dari Tangerang Selatan menuju tempat yang biasa disingkat dengan Perpusnas memakan waktu sekitar 90 menit.
Sampai di tempat tujuan, kami melihat sebuah gedung berwarna krem yang warnanya nampak pudar, menunjukkan bahwa usianya tak lagi muda. Kalau dilihat lebih dekat, tembok gedung itu bermotif kotak-kotak, sedikit mengingatkan saya dengan bentuk cokelat batangan.
Foto oleh: Amalia Kartika
Memasuki gedung Perpusnas, kami disambut oleh semacam pahatan berbentuk buku raksasa yang menempel di dinding, serta sebuah batu berukuran cukup besar yang diatasnya terdapat batu berbentuk buku di depan dinding pahatan tersebut. Diatasnya terdapat tulisan peresmian gedung Perpusnas oleh mantan presiden Soeharto, serta ibu Siti Hartinah Soeharto, ketua Yayasan Harapan Kita. Hari itu, sebagian besar pengunjung Perpusnas adalah mahasiswa.
Kemudian kami mengisi buku tamu menggunakan komputer yang tersedia di sebelah kanan pintu masuk. Setelah itu, kami tidak bisa langsung naik ke atas menuju ke perpustakaannya. Pengunjung yang tidak memiliki kartu anggota Perpusnas harus membuat kartu anggota terlebih dahulu. Di bagian kiri pintu masuk, sebagian orang sedang antre untuk mengisi data diri dengan lengkap di beberapa komputer yang disediakan, kemudian mengantre untuk foto kartu anggota.
Ada salah satu petugas yang beberapa kali mengingatkan pengunjung yang sedang mengisi data diri untuk mengisinya dengan lengkap. “Isi datanya dengan lengkap, alamat sesuai dengan yang di KTP. Gunakan bahasa Indonesia yang benar,” kurang lebih seperti itu yang dikatakan.
Pada saat kami sedang antre untuk foto kartu anggota, waktu sudah menunjukkan jam istirahat petugas disana. Jadi, kami harus kembali lagi pada jam satu. Beruntunglah saat itu waktu sudah mendekati setengah satu, kami memutuskan untuk mencari masjid atau musholla di Perpusnas. Tak perlu khawatir menunggu lama-lama atau kembali ke Perpusnas di lain hari, karena kartu anggota Perpusnas langsung jadi beberapa saat setelah kita melakukan foto.
Setelah menerima kartu anggota, kami langsung berjalan menuju pintu masuk yang menggunakan sistem seperti tapping yang ada gedung perkantoran. Namun bedanya, untuk bisa membuka palangnya, kartu aksesnya digesek bukan diletakkan di tempat sensor. Kartu anggota Perpusnas yang baru kami dapatkan itulah yang menjadi kartu aksesnya. Seorang satpam tiba-tiba mencegat kami dan meminta untuk menitipkan tas kami di loker yang sudah disediakan dan membawa barang yang diperlukan saja.
Masuk ke dalam wilayah perpustakaan, pengunjung harus naik lift atau naik tangga untuk bisa mengintip koleksi bukunya. Karena baru pertama kali, kami memutuskan untuk naik ke lantai dua terlebih dahulu menggunakan lift berukuran kecil yang hanya bisa memuat sekitar 6-8 orang.
Foto oleh: Gadis Gladya
Sampai di lantai dua, kami melihat sebuah ruangan yang didominasi oleh warna merah dan abu-abu. Disana ada deretan komputer seperti yang ada di tempat pendaftaran anggota namun dengan jumlah yang lebih banyak. Lalu ada beberapa baris meja beserta bangkunya, serta deretan laci-laci kayu kecil berwarna cokelat.
Ruangan tersebut digunakan untuk mengakses OPAC (Online Public Access Catalog), semacam situs untuk mencari ketersediaan buku yang kita cari di Perpusnas. Tak heran bila disediakan sejumlah komputer disana. Pada saat berdiri di depan salah satu komputer, saya bingung apa yang mau saya cari, terlebih saya tidak memiliki kebutuhan yang mendesak. Tangan saya kemudian mengetik kata kunci advertising di keyboard. Hasil pencarian yang muncul cukup banyak dan saya memilih beberapa judul buku yang tersedia di Perpusnas.
Pandangan saya teralih ke pengunjung lain yang sedang mencatat sesuatu di sebuah kertas. Mata saya langsung bergerak mencari tahu dimana kertas itu didapatkan. Lalu, mata saya terarah ke sebuah boks bertuliskan “Silahkan Ambil Form Permintaan Disini”, kemudian saya mengambil selembar kertas dari boks itu. Form tersebut digunakan untuk meminjam buku yang dicari. Tiba-tiba kami mendapat pemberitahuan bahwa penyerahan form permintaan hanya bisa dilakukan sampai pukul setengah tiga. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Saya pun bergegas memilih satu judul buku, mencatat judulnya, nama pengarang, kode, lokasi buku tersebut dan segera menuju lantai tiga berdasarkan keterangan yang tertera di layar komputer bersama Gadis yang sedari tadi hanya duduk sambil memainkan ponselnya.
Begitu pintu lift terbuka di lantai tiga, kami dihadapkan oleh dua pilihan. Belok ke kanan atau ke kiri. “Udah dicek ke petugasnya belum? Nanti petugasnya kasih tahu harus kemana,” kata seorang pengunjung yang melihat kami yang kebingungan. Kami pun langsung kembali ke lantai dua dan menghampiri meja petugas lalu menyerahkan form permintaan saya. Petugas tersebut kemudian memeriksa form permintaan itu. Tak lama, ia menginformasikan kalau saya harus naik ke lantai tiga dan belok kanan. Sebelum meninggalkan lantai dua, petugas meminta untuk memasukkan nomor anggota di komputer yang ada di depan meja petugas.
Foto oleh: Gadis Gladya
Berkat petunjuk yang diberi tahu oleh petugas di lantai dua, tibalah kami di sebuah ruangan. Terdapat beberapa baris meja yang dilengkapi beberapa kursi di masing-masing meja, sebuah komputer dengan bentuk yang sama seperti di depan meja petugas di lantai dua, dan sebuah meja berukuran lebar yang membatasi ruang baca dengan ruang pustakawan. Di sisi lain ruangan tersebut yang dibatasi oleh kaca, terlihat deretan rak berisikan buku-buku. Bayangan akan menyentuh koleksi buku dengan bebas, kepuasan tersendiri berjalan di antara rak-rak buku yang ada di benak saya seketika sirna saat melihat kaca pembatas tersebut.
Beberapa pengunjung terlihat memenuhi ruangan tersebut. Ada yang sedang membaca buku dan ada pula yang sedang duduk saja. Saya langsung menghampiri meja pustakawan dan menaruh form permintaan ke dalam sebuah kotak bening. Tak lama, seorang pustakawan mengambil kertas yang saya taruh itu, membacanya, lalu mencari buku yang diminta. Kembali ke hadapan saya dengan membawa sebuah buku hard cover, pustakawan itu bertanya apakah saya sudah mengisi nomor anggota. Entah kenapa saya menjawab belum sambil menggelengkan kepala, padahal saya sudah melakukannya di lantai dua. Lalu ia meminta saya untuk mengisinya di komputer yang sudah disediakan. Saya langsung paham kalau di setiap ruangan yang dikunjungi, kita harus mengisi nomor anggota. Pada saat saya ingin meminta buku yang ingin dibaca, saya malah disuruh duduk untuk menunggu. Pustakawan yang tadi melayani saya terlihat sedang memfotokopi sebuah buku. Di Perpusnas disediakan layanan fotokopi buku.
Sekitar 10 menit saya menunggu sampai ada seorang pustakawan memanggil saya untuk mengambil buku, namun tak ada satupun yang memanggil. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga dan ruangan tersebut sudah mulai sepi mendekati waktu tutupnya Perpusnas pada pukul tiga sore. Pada bulan Ramadhan, Perpusnas tutup lebih cepat.
Saya pun menghampiri meja pustakawan, lalu ada seorang pustakawati yang beranjak dari mejanya dan bertanya pada saya, “Ada yang bisa dibantu?”. Saya mengatakan saya belum menerima buku yang saya minta. Pustakawati itu kemudian mengambil buku yang ada di meja dan menyerahkannya kepada saya. Saya sedikit kesal karena waktu saya terbuang hanya untuk menunggu dan ujung-ujungnya harus bertanya agar dilayani. Satu per satu saya membalik halaman buku mengenai advertising yang saya taruh di atas meja dan membacanya sampai waktu menunjukkan pukul tiga kurang 15 menit.
Dari kunjungan tersebut, terlihat bahwa Perpusnas hanya dijadikan sebagai tempat untuk mencari sumber-sumber pengetahuan untuk keperluan tugas. Perpusnas bukanlah tempat yang tepat bagi kita yang tujuannya hanya ingin menghabiskan waktu luang dengan membaca buku yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Kalau mau datang kesana, sebaiknya menyiapkan catatan buku-buku yang akan dicari. Kalau tidak, ya akan berakhir dengan kebingungan seperti yang saya dan teman saya rasakan.
Seiring waktu, perpustakaan memang mulai banyak ditinggalkan. Terlebih, sekarang sumber-sumber pengetahuan bisa didapatkan melalui internet dan lebih mudah untuk diakses. Mau tidak mau, perpustakaan harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. 

Comments